Senin, 16 Mei 2011

MENGEDEPANKAN INOVASI VALUE INVESTASI

Dalam sejarah industri DS/MLM di Indonesia, masih belum banyak muncul pemikiran-pemikiran kritis dan strategis terkait dengan perkembangan industri ini.

Kebanyakan, analisis-analisis perkembangan industri ini justru disuarakan oleh para pengamat pemasaran umum atau kalangan media massa. Justru analisis-analisis yang datang dari pelaku atau praktisi bisnis DS/MLM masih kurang sekali. Oleh sebab itu, kali ini INFO APLI menampilkan Tommy Setiawan, seorang praktisi dan leader MLM, yang mengajukan gagasan-gagasan segarnya dalam label konsep Blow!

Tommy Setiawan sebelumnya bekerja di sejumlah perusahaan multinasional yang bersinggungan dengan industri pengolahan dan pengemasan makanan. Tahun 2004 ia baru menekuni MLM setelah merasakan manfaat nyata dari sebuah produk. Berdasarkan pengalaman dan pengamatannya, Tommy mengembangkan sebuah grup distributor dengan merek Mitra Sehat Club (MSC).

Berikutnya, Tommy mulai mengembangkan grup distributornya dengan menggunakan pendekatan value. Ternyata, konsep yang dipraktikannya itu membuahkan hasil dan menjadi wacana baru bagi bisnis MLM. Sejumlah top leader yang menjadi seniornya pun mulai mengakui bahwa sudah saatnya bagi para pelaku bisnis MLM untuk tidak lagi mengesampingkan masalah value dalam mengembangkan bisnisnya.

Kini, Tommy hendak membagikan pengalaman, hasil pengamatan, ser ta analisisnya mengenai pentingnya mengedepankan value bisnis MLM. “Sebab, tantangan kita banyak sekali. Makanya kita harus berinovasi,” tegas Tommy kepada Edy Zaqeus dari INFO APLI. Berikut petikan wawancara dengan Tommy, yang pada awal 2007 nanti akan segera meluncurkan buku analisis MLM yang berjudul BLOW!.

Gambaran umum konsep Blow! seperti apa?
Secara umum, konsep Blow! lebih memandang kepada anggota sendiri, tidak bermain di area sistem komisi. Tidak juga main di area produk. Kita lebih mengarah ke inovasi sifat keanggotaan di MLM itu sendiri.

Mengapa demikian?
Saya lihat, semenjak MLM itu berdiri di Indonesia 20 tahunan lalu, yang ditampilkan ya itu-itu saja. Padahal, dari sisi produk sudah berkembang sekali. Banyak sekali inovasinya. Cuma kalau kita lihat dari sisi sifat keanggotaan, ya penekanannya pada sistem komisi saja. Rata-rata, dalam rentang 20 tahun, sistem komisi sudah direvisi beberapa kali. Tergantung business scale perusahaan.

Apakah itu bermasalah?
Bisa bermasalah, bisa pula tidak. Kalau semuanya bisa running well seperti dulu, masyarakat masih mood dan sangat wellcome dengan MLM, itu tidak masalah. Tapi kalau kita lihat sekarang, banyak sekali faktor yang berubah. Secara internal, ada penyimpangan-penyimpangan yang membuat image MLM jelek. Dari eksternal, ada praktik kriminal money
game. Lalu, banyak juga orang yang merasa buntu dan tidak berhasil di bisnis ini. Makanya, di mana-mana yang tersebar adalah bad news. Faktor eksternal lain, dan sangat signifikan
mempengaruhi, adalah tren divergensi.

Apa maksudnya tren divergensi?
Era 2000-an ke atas ini, pola pemenuhan satisfaction masyarakat atau pelanggan semakin sulit dan mahal. Makanya perlu modifikasi. Contohnya, kalau dulu handphone yang bisa berbunyi dan layarnya black and white pun sudah mahal dan dikejar-kejar konsumen. sekarang, kalau tidak pakai kamera kan vaule-nya kurang. Konsekuensinya, pertama, konsumen jadi makin mahal dan sulit dipuaskan. Kedua, sisi positifnya, hal itu menimbulkan
peluang usaha yang baru. Otomatis, kalau kita balik ke MLM, itu memberikan ruang bagi improvement. Masalahnya, banyak pelaku bisnis MLM—baik dari manajemen perusahaan MLM ataupun top leader—yang tidak melihat peluang-peluang itu.

Mengapa bisa demikian? Apa saja faktor penyebabnya?
Simple aja. Itu kesalahan klasik. Gampangannya, kalau kita jualan itu kan bukan apa yang menurut kita baik. Tapi, apa yang menurut orang atau calon pembeli itu baik. INFO APLI Edisi XXXIV/Oktober-Desember 2006 5 Jadi, apa yang dipersepsi baik menurut pengusaha itu belum tentu dipersepsi baik menurut konsumen. Sepuluh tahun yang lalu, barang yang bagus pasti laku. Sekarang tidak. Kalau saya contek konsepnya Hermawan Kartajaya, konsumen sekarang semakin irasional. Dulu, barang baguspasti laku, kalau tidak bagus tidak laku. Itu rasional banget. Sekarang, belum tentu. Yang laku malah barang kurang bagus. Bagaimana dong?

Faktor emosional berperan?
Ya. Makanya, perlu kejelian dalam melihat dan menangkap peluang pasar seperti itu. Apa yang dibutuhkan, apa yang sedang tren.

Tawaran Anda dalam melihat konsumen dari sisi “irasionalitas” mereka?
Begini, konsumen dalam konteks MLM itu ada dua. Satu adalah downline atau anggota MLM, kedua adalah pembeli produk nonanggota. Dari kacamata pebisnis MLM, mereka bisa dilihat berbeda tetapi dalam satu kesatuan. Sebab, mereka tetap berafiliasi kepada produk kita, sebagai anggota maupun pemakai produk. Yang saya lihat selama ini, paradigma lama MLM, yang selalu ditawarkan lebih pada cara berbisnis dengan sekian banyak peluangnya. Bukan produknya. Awal 80-an sampai 90-an, itu seksi sekali. Seolah tanpa perlu kerja keras, asal ikut pakem yang berlaku, semua bisa jalan dan ada hasil. Mengapa? Karena itu didukung oleh suasana antusiasme yang tinggi.

Bagaimana posisi produk di MLM?
Dari awal perkembangan MLM sampai sekarang, produk hanya dijadikan sebagai alat atau sarana. Sementara yang dikejar adalah jaringan. Dan, yang ditawarkan memang jaringan. Konsep Blow! itu ingin mengajak MLM kembali kepada hakikatnya; produk sebagai a way of marketing. Karena tujuan kita kan supaya produk berpindah tangan dari produsen ke end user. Marketing itu adalah suatu sistem komunikasi untuk mempengaruhi massa supaya mereka attach dengan produk kita, dengan mengedepankan value. Konsep Blow! mengajak orang menjual barang tetapi dengan cara sedemikian rupa—sehingga orang tidak membeli
karena dipaksa atau dimanipulasi—tetapi karena mendapatkan value dari barang tersebut. Value itu tidak hanya dalam hal produk, tetapi juga cara penyampaian,pendekatan, atau cara menawarkan, dll.

Apa tujuan mengedepankan value dalam bisnis ini?
Karena kita menggunakan pendekatan value, anggota yang sudah bergabung maupun konsumen yang belum bergabung itu sebisa mungkin merasakan bahwa memang ada nilai dalam produk itu. Okelah, tahun 80-an MLM bisa monopoli produk-produk tertentu, misalnya Ester-C. Tapi, sekarang kan ada tiga kompetitor? Kalau produkproduk MLM ada substitusi di jalur retail atau OTC, dengan lay out konter yang ber-AC dan segala macam, lalu apa daya saing kita? Memang, belum semua produk MLM ada pembandingnya. Tapi itu kan soal waktu saja. Makanya, kita harus pikirkan apa daya saing kita kalau bukan value?

Solusi yang Anda tawarkan?
Konsep Blow! menegaskan, bahwa “B” artinya benefit (keuntungan). Dan benefit itu berkaitan erat dengan value. Nah, value itu kan apa yang Anda dapat dari suatu produk dibandingkan dengan uang yang Anda keluarkan. Kalau membeli barang, berarti Anda mengeluarkan uang, dan apa yang Anda dapat? Manfaat produknya apa? Lalu, ada nggak emotional attachment karena sembuh, puas sekali, atau tertolong berkat produk itu? Itulah value-nya.

Tantangan MLM saat ini?
Tren divergensi membuat tawaran peluang bisnis menjadi semakin banyak. Banyak sekali peluang usaha baru yang lebih seksi. Termasuk franchise yang baru dibuka tahun 1997. Ibaratnya, kalau mau cari duit itu banyak alternatifnya selain di MLM. Lalu, karena hambatanhambatan internal dan eksternal, image negatif seperti saya bilang tadi, ya akhirnya MLM bisa-bisa menjadi pilihan yang terakhir...

Belum lagi serbuan peluang usaha di balik bisnis retail?
Ya. Sekarang kalau kita mau butuh kosmetik, toiletris, pasta gigi, pembersih wajah, dulu kan mesti jalan jauh untuk mendapatkan. Sekarang, di setiap ujung jalan perumahan kan ada minimarket. Buat konsumen, dipermudah. Jalan lima menit ada minimarket dan semua barang yang mau dibeli ada di situ. Cuma buat pengusaha MLM, itu kan kompetitor?

Bagaimana pelaku MLM menyikapi?
Ya, dengan value. Ingat, orang terikat pada suatu produk bukan karena kualitas atau brand-nya saja. Rinso itu umurnya sudah hampir 200 tahun, sejak zaman Belanda. Kenapa orang masih fanatik, sekalipun merek-merek baru menyerbu? Karena ada ikatan emosional antara merek itu dengan konsumennya. Kalau di MLM, bagaimana caranya supaya konsumen terikat dan cocok dengan suatu produk? Kita harus membuat sesuatu yang lebih nyata dari sekadar produk. Pelanggan membutuhkan sesuatu yang bisa meyakinkan mereka, bahwa produk itu benar-benar memenuhi kebutuhan mereka.(ez)
info: apli XXXIV oktober-desember 2006

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Free Samples By Mail